wisata
Senin, 22 November 2010
wisata kampar
istana siak
sejarah
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di daerah siak.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.
Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.
Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999
SILSILAH
Raja Raja yang pernah berkuasa di kerajaan Siak:
sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723-1744)
Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin syah(1744-1760)
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah(1760-1761)
Sultan abdul Jalil Amaluddin Syah(1761-1766)
Sultan Mohmad Ali Abdul Jalil Mu'azam Syah(1766-1779)
Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah(1779-1781)
Sultan Yahya Abdul Jalin Muzafar Syah(1782-1784)
Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin(1784-1811)
Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin(1811-1827)
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin(1827-1864)
Sultan Assyaidis Syarif kasim I Abdul Jalil Syaifuddin(1864-1889)
Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin(1889-1908)
Sultan Assyaidis Syarif kasim II Abdul Jalil Syaifuddin(1908-1946).
candi muara takus
Candi Muara Takus adalah candi tertua di Sumatera yang terbuat dari tanah liat, tanah pasir, dan batu bata sementara candi yang ada di Jawa terbuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat candi ini, khususnya tanah liat, diambil dari desa Pongkai yang terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir kompleks Candi Muara Takus. Nama Pongkai berasal dari bahasa Cina Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, maksudnya adalah lubang tanah yang diakibatkan oleh penggalian untuk pembuatan candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian sekarang tidak dapat kita temukan lagi karena sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa serta Palangka. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus, merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini. Bangunan candi yang terdapat di kompleks Candi Muara Takus antara lain :
1. Candi Mahligai: candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Dahulu menurut DR. FM Snitger, pada keempat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
2. Candi Sulung (Tua): yaitu candi terbesar di antara bangunan lainnya di kompleks Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
3. Candi Bungsu: bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah Timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
4. Candi Palangka: terletak di sisi Timur stupa mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
PLTA koto panjang
PLTA Koto Panjang terletak di desa Merangin Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau di pinggir jalan nasional yang menghubungkan Propinsi Riau dan Propinsi Sumatera Barat, berjarak 20 Km dari Bangkinang atau 85 Km dari Kota Pekan Baru. Titik koordinat kota Kecamatan 1000 , 4' BT dan 00°, 3' LU, dengan ibukota Kecamatan Batu Bersurat. Luas wilayah genangan (waduk) lebih kurang 12.400 Ha yang melipuli 8 (delapan) desa di kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau, dan 2 (dua) desa di kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten 50 Kota, Propinsi Sumatera Barat. Pembangunan proyek PLTA Koto Panjang bertujuan untuk mengantisipasi laju pembangunan di Propinsi Riau, khususnya dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik jangka panjang, serta untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat pada sektor hulu dan hilir. Selain itu pembangunan proyek ini bertujuan untuk pengembangan wilayah baru melalui pembangunan lokasi pemukiman baru, masyarakat yang dipindahkan memiliki lahan pertanian masing-masing seluas 2,5 Ha. Pembangunan proyek juga meningkatkan aksesibilitas masyarakat dengan dibukanya jalan-jalan baru, mengeleminir keterisolasian daerah-daerah terpencil, serta terbukanya lapangan usaha di sektor jasa dan perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya proyek PLTA Koto Panjang terjadi penurunan pendapatan rata-rata masyarakat secara signifikan, yakni sebesar 9,37 persen. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan XIII Koto Kampar setelah adanya proyek bertambah sebesar 15,93 persen. Adapun dampak proyek terhadap produksi pertanian padi menyebabkan terjadinya penurunan sebesar 47,95 persen, sedangkan produksi jagung turun sebesar 21,84 persen.
Kawasan PLTA Koto Panjang tidak semata-mata sebagai sumber tenaga listrik dan sumber air bersih, tapi juga menyimpan nilai historis bagi masyarakat Kabupaten Kampar dan Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya serta masyarakat Provinsi Riau dan Sumatera Barat pada umumnya.
Pembangunan kawasan PLTA Koto Panjang dimulai tahun 1979, ketika PLN berencana membangun dam skala kecil di Tanjung Pauh untuk memanfaatkan air Batang Mahat, anak Sungai Kampar Kanan. Pada bulan September dan November 1979, TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd.), sebuah perusahaan konsultan Jepang, mengirim tim pencarian proyek (project finding) ke Sumatera.
Dari hasil survey yang dilakukan, TEPSCO mengusulkan pembangunan waduk berskala besar di pertemuan Sungai Kampar Kanan dengan Batang Mahat yang lokasi damsitenya di daerah Koto Panjang. Pada bulan Januari 1993, pembangunan proyek yang terletak di tapal batas Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Barat ini pun dimulai. Pada bulan Maret 1996, bendungan selesai dibangun dan langsung dilakukan ujicoba penggenangan air. Bertepatan dengan hari Jumat tanggal 28 Februari 1997, penggenangan air secara resmi dilakukan.
Kawasan PLTA Koto Panjang memiliki panorama alam yang indah dengan latar deretan bukit-bukit yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan. Dari jauh terlihat Gunung Bukit Barisan yang menjadi hulu air waduk ini. Air danaunya yang biru seakan-akan menarik pengunjung untuk mengarungi areal sekitar 12.900 hektar ini dengan perahu atau pompong. Kawasan yang asri dan tenang ini sangat cocok dijadikan tempat untuk melepaskan penat sehabis bekerja seharian atau sekadar untuk mencari inspirasi.
Langganan:
Postingan (Atom)